Selasa, 22 Februari 2022

PLTPH (Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro)



Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro (PLTPH) adalah teknologi untuk memanfaatkan debit air yang ada di sekitar kita untuk diubah menjadi energi listrik. Caranya dengan memanfaatkan debit air untuk menggerakkan turbin yang akan menghasilkan energi mekanik. Selanjutnya, energi mekanik ini menggerakkan generator dan menghasilkan listrik. Daya listrik maksimal yang dapat dibangkitkan oleh Piko Hidro adalah 1.000 watt. PLTPH ini sangat cocok untuk diaplikasikan pada sungai atau saluran irigasi yang memiliki terjunan sekitar 1,5 meter.

PLTPH tidak menggunakan bahan bakar minyak sama sekali, sehingga tidak ada emisi gas buang yang dihasilkan dari penggunaan teknologi ini. Oleh karena itu penerapan Pikohidro merupakan upaya positif untuk mengurangi laju perubahan iklim global. PLTPH dapat beroperasi selama 24 jam tanpa henti.

Pada pembuatan instalasi PLTPH terdapat beberapa syarat fisik yang diperlukan yaitu harus dibangun di daerah yang memiliki ketersediaan aliran air yang konstan dalam ukuran debit tertentu. Ukuran debit air salah satu syarat yang akan menentukan besarnya energi yang dihasilkan. Rangkaian PLTPH membutuhkan turbin untuk memutar kumparan dinamo listrik/generator. Dinamo/generator akan mengubah energi yang dihasilkan oleh putaran turbin menjadi energi listrik dan didistribusikan dari instalais PLTPH ke pengguna menggunakan kabel dengan instalasi tersendiri.

Adapun salah satu contoh rancang bangun Pembangkit Listrik Hydropower berskala Pikohidro model Turbin Archimedes Screw, bisa anda lihat pada link berikut : https://www.youtube.com/watch?v=H1rC1nvD18I

PERBANKAN SYARIAH

Bank Syariah, berdasarkan Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, adalah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau prinsip hukum islam. Prinsip syariah Islam yang dimaksud mencakup dengan prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram, sebagaimana yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia. 

Peraturan yang mengatur mengenai bank syariah di Indonesia pertama kali adalah UU No. 7 Tahun 1992. Bank syariah pada masa ini masih berbentuk bank pengkreditan rakyat. Yang membedakan adalah, bahwa bank pengkreditan rakyat yang satu ini menjalankan asas-asas serta prinsip-prinsip bagi hasil yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Prinsip bagi hasil dalam hal ini disinyalir memiliki kesamaan dengan prinsip syariah.

Enam tahun selanjutnya, melalui UU No. 10 tahun 1998, dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan sebelumnya. Pada landasan hukum yang satu ini, diberikan penjelasan yang terelaborasi mengenai pengertian serta prinsip-prinsip bank syariah itu sendiri. Peraturan perundangan ini pula lah yang telah menjadi cikal-bakal landasan hukum syariah yang cukup kuat. 

Landasan hukum bank syariah selanjutnya yang masih juga digunakan hingga saat ini adalah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan perundangan yang satu ini, berupaya memberikan penjelasan komprehensif mengenai operasional bank syariah. Di dalamnya secara jelas diatur mengenai jenis-jenis usaha, ketentuan dalam melaksanakan prinsip syariah, penyaluran dana, kelayakan dalam berusaha, serta beberapa hal yang harus dihindari oleh sebuah Bank Syariah.

Hal-Hal yang Harus Dihindari Dalam Perbankan Syariah Berdasarkan Landasan Hukum Bank Syariah

Adapun beberapa hal yang perlu dihindari dalam pelaksanaan kegiatan bank syariah menurut UU No. 21 tahun 2008 antara lain adalah kegiatan-kegiatan dengan unsur:

  1. Riba dalam kegiatan perbankan syariah menjadi suatu hal dilarang. Hal ini terjadi karena dengan riba, terjadi peningkatan jumlah pendapatan dengan cara yang tidak sah. Sebagai contoh, transaksi yang mengandung riba adalah transaksi dalam pinjam-meminjam dimana nasabah dalam hal ini diminta untuk membayar pinjaman dengan jumlah yang melebihi pinjaman pokok.
  1. Maisir atau juga disebut Qimar, adalah sebuah transaksi dalam bentuk permainan, dimana pihak yang menang akan mengambil keuntungan dari pemain yang kalah. Transaksi ini dihindari karena sifatnya yang tidak pasti dan cenderung untung-untungan. Praktik maisir yang mungkin sering terdengar adalah praktik judi.
  1. Gharar adalah jenis transaksi yang dilarang, karena dalam hal ini, objek yang ditransaksikan bersifat tidak jelas, sehingga objek tersebut tidak dapat segera diserahkan ketika proses transaksi. Dampak yang berusaha dihindari dari transaksi ini adalah adanya tindakan zalim yang mungkin dapat dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
  1. Haram . Prinsip syariah dalam pelaksanaannya juga melarang transaksi haram. Transaksi yang satu ini adalah jenis yang mentransaksikan suatu objek yang terlarang dalam syariah Islam. Alasan pelarangan transaksi yang satu ini mungkin sudah sangat jelas, karena objek-objek terlarang dalam hal ini hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar dibandingkan manfaat.

Demikianlah penjelasan mengenai landasan hukum bank syariah yang wajib diketahui. Saat ini, peraturan perundangan yang berlaku dan mengatur mengenai bank syariah adalah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan diterapkannya peraturan tersebut, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya, adalah sudah tidak berlaku lagi. 

Sumber disini Source 

Berikut adalah istilah-istilah umum pada Bank Syariah :

  1. Akad merupakan kesepakatan yang mengikat berupa Pertalian ijab dan qabul dalam suatu perjanjian yang sesuai dan sejalan dengan prinsip syariah.
  2. Bai’al dayn merupakan akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik.
  3.  Hiwalah merupakan akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal ‘alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal ‘alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo muhal akan membayar kepada muhal ‘alaih. Muhal ‘alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.
  4. Ijarah merupakan akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir.
  5. Ijarah wa iqtina adalah akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir) yang diikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.
  6. Istishna' merupakan akad jual-beli (Mashnu’) antara pemesan (Mustashni’) dengan penerima pesanan (Shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagai Shani kemudian menunjuk pihak lain untuk membuat barang (Mashnu’) maka hal ini disebut Istishna Paralel.
  7. Kafalah adalah akad pemberian jaminan (Makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan (Kafiil) bertanggung- jawab atas pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (Makful).
  8. Mudharabah merupakan akad antara pihak pemilik modal (shahibul maal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati diawal akad. Akad ini termasuk akad bagi hasil. Jenis-jenis Mudharabah, yaitu : Mudharabah Mutlaqah dimana Mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal. Mudharib tidak dibatasi baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usahanya. Mudharabah Muqayyadah yaitu Shahibul Maal menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi mudharib baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usaha. Dalam skim ini mudharib tidak diperkenankan untuk mencampurkan dengan modal atau dana lain. Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah antara lain digunakan untuk investasi khusus dan Reksadana.
  9. Murabahah adalah akad jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.
  10. Musyarakah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.   Aturan dasar atau aturan pokok yang berdasarkan hukum Islam, khususnya aturan muamalat yang mengatur hubungan antara bank dengan pihak lain dalam rangka penghimpunan dan penyaluran dana serta kegiatan perbankan syariah lainnya.
  11. Qardh adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.
  12. Qardh-ul Hasan adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.
  13. Rahn merupakan akad penyerahan barang/harta (Marhun) dari nasabah (Rahin) kepada Bank (Murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang.
  14. Salam adalah akad jual-beli barang pesanan (Muslam fiih) antara pembeli (Muslam) dengan penjual (Muslam ilaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dan pembayaran dilakukan dimuka secara penuh. Apabila bank bertindak sebagai Muslam kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang (Muslam fiih) maka hal ini disebut Salam Paralel.
  15. Sharf adalah akad jual-beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
  16. Ujrah adalah imbalan yang diberikan atau yang dimintakan atas suatu pekerjaan yang dilakukan.
  17. Unit Usaha Syariah adalah Unit kerja di kantor pusat Bank yang bertugas mengawasi dan mengatur seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah.
  18. Wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang. Berdasarkan jenisnya, Wadi’ah yaitu Wadi’ah Yad Amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
  19. Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa (Muwakkil) kepada penerima kuasa (Wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (Taukil) atas nama pemberi kuasa.
  20. Prinsip Operasional Syariah Lainnya yaitu prinsip operasional lain yang lazim dilakukan oleh bank syariah dalam kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mendapat persetujuan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional. 

    Sumber disini Source

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "Istilah-Istilah Keuangan Syariah yang Perlu Anda Ketahui", Klik selengkapnya di sini